Interdisipliner Dalam Alquran

Interdisipliner Dalam Alquran

Interdisipliner Dalam Alquran

Menggelitik saya, untuk menuliskan sedikit pemahaman saya tentang penafsiran Alquran, terutama berkaitan dengan fenomena banyaknya aliran sesat yang muncul beberapa waktu terakhir. Semakin menggelitik sewaktu Adik tingkat saya mampir, bersilaturrahim, kemudian tiba-tiba dia bertanya: “Mas, Ahmadiyah itu sesat ga ya?.” “Ahmad Musadiq itu kafir ga?”.

Mendengar hal itu, saya teringat dengan kuliah Dosen saya, Ustadz Tohe. Waktu itu kami sedikit membahas masalah analisis sastra. “Karya sastra itu mati, dan pembacalah menghidupkannya dengan berbagai penafsirannya...” Demikian kata beliau. Kemudian saya bertanya: “Ada orang yang mengatakan Alquran itu sastra, berarti kita bebas dong menafsirkannya?” (dung-deng). Kemudian terjadi diskusi panjang lebar, yang akhirnya didapatkan kesimpulan bahwa Alquran bukanlah sastra yang seperti “karya mati” dan kita umat Islam yang membacanya, menafsirkannya, memahaminya, “berarti menghidupkannya”.

Al-Qur’an adalah Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad - sebagai mu’jizat yang ditulis dalam mushaf dan diriwayatkan dengan mutawattir serta membacanya adalah ibadah. Diturunkannya kepada jin dan manusia agar bisa dijadikan petunjuk (huda) dan pembeda (furqan) antara kebenaran dan kesesatan, sebagaimana firman Allah (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). (QS. 2:185) Allah menurunkan al-Qur’an untuk dibaca dengan penuh penghayatan (Tadabbur), meyakini kebenarannya dan berusaha untuk mengamalkannya. Allah berfirman,” Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran? Kalau kiranya Alquran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS. 4:82).

Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab, sebagaimana firman Allah,” Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya”. (QS. 12: 2).

Nah ini menjadi persoalan yang rumit..

Dengan demikian, orang yang ingin menafsirkan AL-Qur’an harus memahami bahasa Arab baik qaidah lughawiyah-nya seperti nahwu, sharf (gramatical), maupun ta’biriyah (Linguistic) seperti majaz, balaghah, I’jaz dan lainnya. Juga Ulumul qur’an seperti asbaab annuzul, nasikh mansukh, qira’ah dan lainnya.

Studi interdisipliner juga diperlukan oleh seorang Mufassir, mengingat Al-Qur’an tidak hanya berbicara masalah keimanan, ibadah dan syariah saja, tetapi juga memuat isyarat-isyarat ilmu pengetahuan yang lainnya. Allah berfirman, “Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al-Kitab” (QS.6 :38).

Mungkin aturan berikut yang banyak dilupakan researcher jaman sekarang (mufassirin jaman ini)

  • Secara global penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an dilakukan oleh Al-Qur’an sendiri. Ayat-ayat yang di-mujmal-kan pada suatu tempat akan dijelaskan di tempat lain, baik itu disebutkan pada tempat yang sama.
  • Apabila metode ini tidak ada, maka menafsirkan Al-qur’an dengan Sunnah Rasulullah. Karena ia merupakan penjelasan bagi al-Qur’an.
  • Apabila tidak ada tafsiran dari Sunnah Rasulullah, maka mempergunakan perkataan Sahabat. Karena mereka melihat fakta dan realita kejadian Sunnah dan menerima ilmu langsung dari Rasulullah. Sangat menarik dan hebat sebuah ungkapan dari sahabat Abdullah bin Mas’ud berkata; Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain-Nya, tidak ada satu ayat dari Kitabullah, kecuali saya mengetahui untuk siapa diturunkan dan di mana diturunkan, kalau ada orang yang lebih mengetahui tentang Kitabullah akan saya datangi sekalipun ada di ujung dunia.
  • Kalau dengan Al-Qur’an, Sunnah dan perkataan sahabat tidak ada, maka sebagian Ulama mengharuskan merujuk kepada perkataan Tabi’in. seperti Hasan Bashri, Atha’ bin Rabah, Mujahid bin Jubair murid Abdullah bin Abbas yang pernah mengemukakan Al-Qur’an dari awal sampai akhir dan menanyakan tafsir dari setiap ayat yang dibaca.

Jadi riset researcher terhadap alquran, kemudian mengklaim hasil penafsirannya sebagai yang paling benar.

Adakah sudah melewati metode di atas?

Bagaimanakah pemahamannya terhadap bahasa Arab beserta qaidah sendiri?

Rasulullah dalam banyak haditsnya mengingatkan untuk tidak menafsirkan ayat-ayat Allah tanpa ilmu, akan disiapkan kursinya di neraka. Rasulullah sendiri yang mempersilahkan untuk menempati kursi di neraka. Bayangkan kita bertemu Rasulullah, bukan syafaat, doa kebaikan yang kita dapatkan. Melainkan dipersilahkan beliau sendiri “Silahkan duduk!” (TAPI DI NERAKA). Astaghfirullahal adzim, naudzubillah, tsumma naudzubillah.

Adapun penafsiran yang dilakukan dengan dasar ilmu dan pengetahuan, baik syariah maupun lughawiyah maka tidaklah termasuk dalam ancaman di atas, menafsirkan AL-Qur’an dengan ijtihad ra’yu sudah ditradisikan sejak zaman Rasulullah, dan itu dilakukan oleh isteri beliau Aisyah yang banyak menafsirkan masalah-masalah penting dalam agama. Dan Rasulullah sendiri merekomendasikan Mu’adz bin Jabal untuk melakukan Ijtihad dengan ra’yu, dalam memutuskan permasalahan ummat, apabila dia tidak mendapatkan jawabannya itu pada al-Qur’an dan Sunnah. Dan hal seperti ini mesti dilakukan agar Al-Qur’an benar-benar bisa menjadi hudan (petunjuk) bagi kemaslahatan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Walllahu A’lam.

Random Blog Articles

Labels:

Infoskripsi Bandulan, Malang and work as an Administrator at Infoskripsi Corp.
0
The item being reviewed 4 5 24