Relativitas Kesesatan Aliran Sesat

Relativitas Kesesatan Aliran Sesat

Relativitas Kesesatan Aliran Sesat

Menyusul gonjang-ganjing lahirnya sejumlah aliran sesat di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan sepuluh kriteria untuk menilai apakah sebuah aliran bisa dikatakan sesat atau tidak (Jawa Pos, 6/11/2007). Dengan lahirnya sepuluh kriteria tersebut, masyarakat Islam di Indonesia akan memiliki pedoman yang bisa dirujuk ketika berhadapan dengan munculnya sejumlah aliran atau ajaran yang dirasa “tidak lazim”.

Tetapi pada aspek lain lahirnya kriteria MUI tersebut mengakibatkan sejumlah persoalan yang mendasar. Pertama, kriteria tersebut tidak bersifat pasti. Artinya sebagai sebuah ketentuan hukum yang mengikat, semestinya fatwa yang dikeluarkan MUI berkaitan dengan kriteria aliran sesat itu bersifat pasti dan tidak mengandung multi interpretasi. Misalnya MUI menyebutkan bahwa salah satu kriteria sebuah aliran dikatakan sesat adalah ketika menafsirkan Alqur’an di luar ketentuan kaidah-kaidah tafsir yang berlaku. Pernyataan itu sungguh membingungkan dan memiliki potensi “pemaksaan”. Persoalan yang segera mengemuka adalah kaidah tafsir manakah yang dirujuk MUI? Dalam kajian studi Islam, tentu saja ada kaidah-kaidah dasar yang harus dirujuk ketika seseorang akan melakukan penafsiran dan pemahaman terhadap Alqur’an, namun sebagai produk manusia, metode atau kaidah pemahaman dan penafsiran Alqur’an senantiasa mengalami perkembangan dan bersifat kompleks. Misalnya studi Alqur’an pada masa sahabat tentu akan berbeda dengan studi serupa di masa tabi’in dan pada masa tabiit memiliki kecenderungan yang berbeda dengan pada iman mazhab misanya.

Kompleksifitas metodologi kajian Aqur’an bisa dibuktikan dengan merujuk kepada beragamnya cara yang muncul untuk mendekati Alqur’an seperti tafsir bil ma’tsur yang menyandarkan diri pada riwayat-riwayat hadits, tafsir bi al ra’yi yaitu penafsiran al Quran yang bertumpu pada kerja-kerja akan dan tafsir maudlu’i (tematik), yakni menafsirkan AQuran dengan cara mengelompokkan teman-tema tertentu yang dikandung Al Qur’an.

Selain itu sejumlah pemikir memiliki cara unik dalam mendekati AlQur’an seperti Ahad Khalifatullah dengan analisis sastra melalui karya Al Fann al Qashashi fi al Qur’an al Karim, Nas Hamid Abu Zayd dengan analisis teks melalui Mafhum al Nash-nya dan masih banyak lagi seperti Mawlana Abdul Kalam Azad, Fazlur Rahman, Mohamed Arkoun, Riffat Hassan, Sayyid Qutb, Hassan Hanafi, Muhammad Sahrour, Farid Esack atau Quraish Shihab yang memiliki metode sendiri-sendiri.

Jika MUI merujuk pada seperangkat kaidah yang dihasilkan oleh ulama tertentu, MUI telah melakukan kesewenang-wenangan, dengan hal ini seolah-olah MUI memiliki hak yang paling mutlak untuk menentukan metode ini benar dan metode ini salah. Padahal metode pemahaman Al Qur’an bukanlah Al Qur’an itu sendiri. Tegasnya jika Al Qur’an berasal dari Tuhan dan harus diterima secara tekstual sebagai hal yang benar secara qath’iy, metode pemahaman dan penafsiran berasal dari manusia dan karena itu tidak mengenal pemutlakan. Kedua, sepuluh kriteria MUI itu juga menyebutkan bahwa “kegemaran” mengafirkan kelompok lain merupakan indikator sesatnya sebuah aliran.

Wallahu a'lamu bishshawab

Random Blog Articles

Labels:

Infoskripsi Bandulan, Malang and work as an Administrator at Infoskripsi Corp.
0
The item being reviewed 4 5 24